STRATEGI PENGUATAN UKM
MELALUI
PENDEKATAN KLASTER BISNIS
KONSEP, PENGALAMAN EMPIRIS, DAN
HARAPAN
Oleh : Noer soetrisno
|
POSISI
PERKEMBANGAN UKM
Harus
diakui bahwa UKM merupakan potensi yang sangat dan strategis dalam perekonomian nasional. Karena selain memiliki jumlah yang besar, UKM
juga menyebar hingga ke pelosok pedesaan.
Dari segi kuantitatif, jumlah pelaku usaha di Indonesia pada tahun 2001
mencapai 40.197.611 juta. Dari jumlah
tersebut, sebanyak 99,86 persen di antaranya adalah usaha kecil (40.137.773), di mana 97,6 persen di
antaranya adalah usaha mikro. Sedang
jumlah usaha berskala menengah sebanyak 57.743
atau 0,14 persen, dan usaha besar hanya 0,005 persen atau berjumlah
2.095 saja (BPS 2001).
Kontribusi
UKM juga amat jelas. Usaha kecil, dan
menengah yang jumlahnya dominan tersebut mampu meyediakan 99,04 persen lapangan
kerja. Demikian halnya sumbangan
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Non Migas, cukup meyakinkan yaitu sebesar
63,11%. UKM juga memberikan kontribusi
pada ekspor non migas sebesar 14,20% (BPS 2001). Hal ini berarti pada sektor-sektor dimana
terbuka bagi masyarakat luas UKM mempunyai sumbangan nyata. Sehingga kemampuan untuk melahirkan percepatan
pemulihan ekonomi akan ikut ditentukan oleh kemampuan menggerakkan UKM.
Di
sisi lain UKM jga menghadapi berbagai permasalahan yang cukup krusial. Secara spesifik setidaknya terdapat empat
permasalahan eksternal, yang merupakan problem klasik yang dihadapi UKM. Keempat permasalahan internal tersebut adalah
: (1)
terbatasnya penguasaan dan pemilikan aset produksi, terutama
permodalan; (2) rendahnya kemampuan SDM; (3)
ditinjau dari konsentrasi pekerjaan sumberdayanya, pengembangannya
terhambat oleh konsentrasi rakyat di pedesaan yang bergerak pada sektor
pertanian; (4) kelembagaan usaha belum berkembang secara
optimal dalam penyediaan fasilitas bagi kegiatan ekonomi rakyat.
Sementara
kedelapan permasalahan eksternal yang dimaksud adalah : (1)
terbatasnya pengakuan dan jaminan keberadaan UKM; (2)
kesulitan mendapatkan data yang jelas dan pasti tentang jumlah dan
penyebaran UKM; (3) alokasi kredit
sebagai aspek pembiayaan masih sangat timpang, baik antar golongan, antar
wilayah, dan antar desa-kota; (4) sebagian besar produk industri kecil memiliki
ciri atau karakterisitik sebagai produk-produk fashion dan kerajinan
dengan lifetime yang pendek ;
(5) rendahnya nilai tukar
komoditi yang dihasilkan; (6) terbatasnya akses pasar; (7)
terdapatnya pungutan-pungutan atau biaya siluman yang tidak
proporsional; (8) munculnya ekonomi dengan berbagai
implikasinya.
Beberapa
problem lain yang juga tak kalah seriusnya, antara lain, mekanisme perencanaan
dari atas ke bawah yang tidak efektif untuk mengatasi detail-detail
problematika faktual yang dihadapi UKM;
perumusan program yang tidak terkait dengan pra kondisi dasar
pemberdayaan ekonomi rakyat (yakni mentalitas enterpreneurship); masih adanya kelompok-kelompok kepentingan di
lingkaran kekuasaan; hingga jaring krupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang
masih kuat.
Sejak
krisis moneter muncul, dan kemudian diikuti krisis ekonomi lebih luas, dampak
tidak menyenangkan dialami pula di sektor UKM.
Hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut, antara lain : (1)
tingginya bunga kredit, sehingga suplai kredit berkurang, berakibat pada
kurang terbukanya sektor produksi :
(2) tingginya biaya impor bahan
baku dan suku cadang, yang mengakibatkan meningkatnya biaya produksi, sehingga
keperluan modal kerja meningkat:
(3) tingginya biaya untuk
permesinan, peralatan, dan suku cadang, yang berkaitan dengan teknologi: (4)
cash flow terganggu akibat lambatnya pembayaran utang: (5) nilai
tukar mata uang asing yang masih volatile, meningkatkan resiko transaksi
antarnegara.
Rintangan-rintangan
di atas, bagaimanapun menghalangi pembentukan kelas wirausaha yang bebas
mendirikan perusahaan mereka sendiri.
Perusahaan kecil dan menengah sering tampak sebagai usaha sia-sia dan
nirlaba. Padahal, aktivitas wirausaha dibutuhkan
untuk membangun sebuah kekuatan ekonomi berbagai luas. Ada hubungan kuat antara eksistensi kelas
wirausaha yang kokoh dengan sebuah kondisi ekonomi yang beragam, dan keduanya
berpadu untuk untuk menciptakan ekonomi nasional yang lebih ulet, menghadaoi
perilaku pasar internasional, yang tidak selalu dapat dipastikan, dan berkemampuan
menyediakan kesempatan pekerjaan yang lebih besar dengan biaya lebih murah.
PENGEMBANGAN
PENDEKATAN PEMBERDAYAAN UKM
Pemerintah
di berbagai negara, pada umumnya mendukung UKM.
Hal tersebut dilakukan mengingat kontribusinya yang signifikan atas
lapangan kerja, inovasi dan pertumbuhan.
Dukungan pemerintah tersebut bertujuan memajukan sektor UKM, agar
bergairah dan tumbuh secara dinamis.
Namun demikian, biasanya dukungan pemerintah terhadap UKM tersebut,
tidak berjalan secara optimal.
Setidaknya
ada tiga hal yang menyebabkan peran negara kurang memuaskan dalam pemberdayaan
UKM. Pertama, relevansi pembinaan
jasa berlandaskan pandangan sempit tentang kebutuhan UKM, yaitu lebih banyak
ditentukan dari sisi pemberian layanan
(supply driven) dan bukan karena
pengetahuan tentang apa yang diperlukan UKM.
Kedua, jangkauan sasaran terbatas. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan pada
subsidi dan ketentuan jenis bantuan pemerintah terhadap UKM. Akibatnya jumlah perusahaan yang menerima
bantuan menjadi terbatas, terutama oleh jumlah dana yang dianggarkan pemerintah
dan sifat mekanisme pemberian bantuan, akibanya fatal ketika bantuan dana
dihentikan atau seringkali hanya berlaku untuk sekali saja.
Berkaca
dari berbagai hal di atas, kini tela dikembangkan wacana praktek (best practice) dalam konteks pengembangan UKM yang dapat
diterapkan di berbagai negara.
Pengembangan UKM dibedakan ke dalam dua aspek finansial dan
non-finansial.
Meskipun
Indonesia telah lama memiliki program pengembangan usaha kecil/industri kecil
namun dirasakan masih belum efektif dan berkelanjutan (sustain). Untuk itu ada satu persyaratan penting yang
selama ini kita abaikan yaitu: Focused, Strategic dan Coelective Approach. Untuk memungkinkan pendekatan yang Cost effective dan Demand driven maka
hanya dapat dilakukan bila “Cluster
of Small Business” dapat beroperasi
dalam batas kawasan yang dekat antara satu dengan lainnya serta memiliki
keterkaitan yang kuat sebagai suatu sistem yang produktif. Cluster pada umumnya merupakan kecenderungan
spontan dari usaha sejenis untuk melakukan kegiatan yang saling mendekati. Meskipun terdapat berbagai macam klaster yang
dikembangkan seperti Pusat Inkubasi Teknologi, Technological Park, Lingkungan
Industri Kecil, Kawasan Berikat dan lain-lain maupun yang sifatnya embrional
seperti sentra industri yang menjadi fokus adalah membangun dinamika klaster
sehingga kegiatan UKM yang ada di dalamya dapat mencapai kemajuan.
Praktek
Terbaik Dukungan Non-Finansial
Praktek terbaik dukungan non finansial memperhatikan
tiga hal: menciptakan business
development services (BDS) atau jasa pengembangan usaha yang efektif; penggunaan teknologi secara tepat bagi
pengembangan UKM; fasilitasi akses
teknologi informasi dan telekomunikasi.
Pendekatan best practices pemenuhan pelayanan aspek
non-finansial, setidaknya harus mempertimbangkan prinsip-prinsip sebagai
berikut: (1) orientasi demand-side dan penyesuaian
terhadap kebutuhan pengguna; (2) subsidiarity (siapa dapat bekerja
menghasilkan apa yang terbaik); (3) terfokus, dengan pendekatan kolektif dan
strategis; (4) orientasi pasar dan bisnis; (5)
pengembalian ongkos (cost recovery); (6)
berkesinambungan (finansial dan kelembagaan); dan (7) monitoring dan performance measurement.
Menciptakan
Business Development Services (BDS) atau Layanan Pengembangan Bisnis yang
efektif
Istilah
BDS dalam konteks pengembangan UKM pada aspek non-finansial. Secara singkat, BDS kerap diartikan sebagai jasa
non-finansial yang bertujuan meningkatkan kinerja suatu perusahaan individual.
Secara
khusus, Committee of Donor Agencies for Small Enterprise Development mendefinisikan BDS sebagai jasa non-finansial
yang meningkatkan kinerja perusahaan, aksesnya ke pasar, dan kemampuannya untuk
bersaing, yang mencakup beraneka ragam jasa usaha yang dirancang untuk melayani
komunitas bisnis secara luas.
Sementara,
dalam suatu studi OECD tahun 1985 “Boosting
Business Advisory Services”, BDS
dirumuskan sebagai jasa non finansial yang bertujuan meningkatkan berfungsinya
UKM dalam beraneka ragam aktivitas dan meningkatkan kinerjanya, melalui
pemberian saran dan keahlian khusus eksternal dalam jangka waktu singkat atau
sementara, sebagai pelengkap sumberdaya internal perusahaan bersangkutan.
Dari
definisi-definisi di atas, setidaknya secara generik BDS, diartikan sebagai
jasa non-finansial yang bertujuan meningkatkan kinerja, akses ke pasar dan
kemampuan bersaing suatu perusahaan individual, yang tersedia untuk jangka
waktu singkat atau sementara. Lingkup
aneka jasa yang dimaksud antara lain:
pelatiahan manajemen dan teknik (jangka pendek); konsultasi masalah
manajerial dan teknis; perbaikan dan pemeliharaan; desain produk; sertifikasi
produk dan proses; konsultasi jasa teknologi informasi dan komputer; jasa
informasi; jasa kurir; jasa riset pasar, pialang perdagangan, jasa iklan dan
hubungan masyarakat; jaringan pialang; jasa akuntansi, sekretarial, perpajakan,
dan hukum; konsultasi finansial dan kepialangan; serta konsultasi dan pelatihan
pembukaan usaha baru.
Suatu
strategi realistik dengan kinerja tinggi dan ekonomis untuk menciptakan jasa
pengembangan usaha (BDS), setidaknya harus didasarkan pada tiga tiang
utama: Pertama, harus diciptakan
kondisi untuk menggairahkan pengembangan sektor swasta. Sektor swasta bagaimanapun memerankan peran
yang signifikan bagi pengembangan UKM, oleh karenanya pemerintah harus
mengkondisikan iklim usaha yang kondusif yang berdampak positif bagi pasar dan
bisnis. Kedua, pengembangan pasar
BDS yang semakin diprioritaskan. Artinya
pola penyediaan jasa BDS yang berdasar pada ketersediaan dan subsidi
pemerintah, harus digeser ke arah pola yang mengembangkan lingkungan pasar yang efektif, sehingga
memungkinkan penyediaan BDS. Ketiga,
upaya mengembangkan pasar BDS swasta seyogyanya dilengkapi dengan pengurangan
dan rasionalisasi keterlibatan sektor pemerintah. Pengurangan peran konvensional pemerintah
dalam penyediaan jasa didorong dengan cara memperketat aturan pengembalian
ongkos (cost recovery) BDS agar program ini bisa berlanjut secara finansial,
menggunakan sektor swasta untuk menyalurkan BDS yang didanai pemerintah, dan
melakukan evaluasi lebih ketat terhadap dampak yang terkait dengan alokasi
anggaran untuk BDS. Rasionalisasi
pengucuran dana pemerintah untuk BDS dapat diikuti dengan swastanisasi program
yang telah sepenuhnya mencapai cost recovery.
Dalam
konteks penyedia jasa BDS, setidaknya
harus diperhatikan dua hal: selayaknya
bersikap sebagaimana pelaku pasar lainnya dan mengikuti permintaan pasar
(market oriented); sebaiknya memfokuskan
diri pada bidang yang benar-benar dikuasainya.
Bagaimanapun, tampaknya, jasa bisnis menjadi semakin penting di semua
negara. Di negara maju separuh dari
angka pertumbuhan GDP diperoleh dari jasa bisnis, sedangkan di negara
berkembang sekitar sepertiga, dan jasa bisnis merupakan bidang dengan
pertumbuhan tertinggi di negara industri.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa sesungguhnya keberadaan jasa bisnis
(di tengah lingkungan global dan lokal yang makin kompleks dan kompetitif)
sebagai penambah nilai pada komoditi, barang dan proses makin diakui, sehingga
memungkinkan perusahaan bersaing lebih efektif, dapat mengakses pasar baik yang
ada maupun yang baru dan beroperasi dengan lebih efisien.
Dalam
rangka pengembangan BDS itu sendiri diperlukan intervensi secara langsung,
terutama dari pemerintah dan donor, sebagai upaya menghadapi kendala
institusional-fundamental dan guna mengembangkan pasar secara efektif. Hal ini terkait dengan hambatan khas UKM dan
respon intervensinya secara tepat.
Pengalaman
internasional dan best practice menuju ke suatu fokus baru, yakni memfasilitasi
pengembangan pasar dan bekerja dengan berbagai macam mitra, daripada memberikan
subsidi kepada penyediaan jasa. Dalam
konteks pengembangan praktek terbaik, perlu diperhatikan beberapa prinsip,
yaitu:
(1) tujuan intervensi haruslah pengembangan pasar;
(2) intervensi pemerintah harus menjelaskan bagaimana
kesinambungan akan tercapai. Artinya,
misalnya, hal seperti kontrol, biaya pemabayaran jasa, dan pengukuran kinerja
dan evaluasi harus dipertimbangkan sejak awal dan bukan sesudahnya;
(3) diperlukan pelaku dan mekanisme berbeda untuk mendukung
pengembangan pasar. Dalam hal ini
terdapat dua pelaku dalam mendukung jasa bisnis: penyedia BDS dan fasilitator
BDS.
Penyedia
BDS umumnya merupakan lembaga bisnis cari laba (for profit businesses) yang
menyediakan jasa usaha secara langsung ke klien dengan suatu bayaran, atau
digabung dengan suatu transaksi komersial lainnya. Sedangkan fasilitator BDS adalah lembaga
internasional atau lokal yang menetapkan tujuan utamanya untuk mempromosikan
pengembangan pasar lokal BDS. Cakupannya
antara lain, beraneka ragam bagi penyedia BDS (misalnya informasi pendidikan
mengenai potensi pembelian jasa BDS).
Fasilitator bisa merupakan organisasi cari untung atau tidak cari
untung, tetapi prinsipnya harus dekat dan memahami cara kerja pasar dan
perusahaan meskipun mereka sendiri bukan pelaku langsung dalam pasar. Fasilitator BDS haruslah berada di luar pemerintah
dan donor, meskipun harus bertanggung jawab kepada mereka, agar bisa
berinteraksi secara wajar dengan pelaku pasar.
Penyaluran
dukungan pemerintah atau donor ke fasilitator BDS, bukan ke lembaga penyedia
BDS (apalagi langsung ke perusahaan UKM), merupakan elemen kunci dalam
pendekatan baru untuk mengembangkan pasar BDS yang berfungsi dengan baik. Hal ini merupakan suatu perkembangan yang
baru terjadi sekitar pertengahan tahun 1990-an, namun sudah terkumpul banyak
dari pengalaman Amerika Latin, Afrika, dan Asia.
AYU KARTIKA RATRI
11611324
2SA04
0 komentar:
Posting Komentar